Senin, 04 April 2011

Detak-detik itu Akan Segera Tiba

Kota Manado Rabu, 30 Maret 2011;21:38

Baru saja saya mendapatkan kabar yang amat menyenangkan hatiku, surat panggilan bertugas dari STAIN Manado akhirnya datang juga, ucuk dicinta ulangpun tiba, begitulah kata pepatah yang amat menyilaukan.

Surat panggilan bertugas ini menandai lahirnya sebuah manifesto tentang sebuah pengabdian kepada Negara & Bangsa tercinta Indonesia Raya. Semoga seluruh pengalaman, pembelajaran yang selama ini saya dapat mampu saya terapkan nantinya untuk kepentingan dan pencerdasan Bangsa ini. Sebuah cita-cita luhur dan berkarakter.

Adakalanya sebuah cita-cita harus diperjuangkan dengan sebuah harapan yang sungguh dahsyat adanya. Kedahsyatan sebuah cita-cita suci telah membangun peradaban ini dengan amat gemilang.

Semoga saya mampu konsisten dan istiqomah dijalur kehidupanku yang baru ini. Ya Allah berkatilah jalan hidupku..Amiin.

Senin, 27 Juli 2009

Cercahan Rasa

Sabtu, 8:51 AM
Bersua Bersama….

Hari ini aku menghabiskan waktu di tamalanrea, sebuah tempat yang agak jauh dari kediamanku. Aku menghabiskan waktu bersama teman2, membincang pendirian sebuah yayasan. Katanya sih untuk kepentingan profiet. Asyik juga sih, pikir2 tanba cv nantinya kalo udah jadi pengurus.

Akhir2 ini aku kelihatannya kehilangan orientasi deh, betul nga. Aku jadi bingung sendiri dengan hidupku. Aku larut dalam kegelapan yang tak ada terang sedikit pun. Jangan-jangan aku udah kena virus dosa besar neh. Bahkan tuhan pun nampaknya agak menjauh dariku. Maaf yah Tuhan, aku menggosipmu ampunilah hambamu ini yang amat hina-dina.
Aku amat takut terhadap hidup ini, semua kurang pasti, bukan tidak pasti yah. Yang pasti2 ajalah. Sebab kepastian adalah sebuah kemungkinan yang amat besar adanya. Eh jadi ngeloyor neh, capek ….

Udah dulu yah, esok dilanjut. Met bobo’ arham moga mipmpi yang indah..

Minggu, 26 Juli 2009

Malam yang Indah

hari berlau, senja mengulai malam yang indah...

Rabu, 24 Desember 2008

OPINI

Masyarakat Madani dan Penegakan HAM

Arhanuddin Salim




Tiadanya tatanan sosial yang mapan bisa menghancurkan kehidupan berbangsa, menghancurkan demokrasi dan menghilangkan keadilan, kemerdekaan, persamaan serta hak asasi lainnya. Pengalamn perjalanan sejarah Bangsa Indonesia selama lebih setengah abad menunjukkan ketiadaan seperti yang dimaksudkan. Oleh karena itu, upaya penataan kembali sistem kehidupan berbagsa secara mendasar perlu dilakukan dengan mencari rumusan baru yang diharapkan bisa menjamin tegaknya demokrasi, keadilan, HAM, toleransi serta pluralisme. Diantara sumber utama rumusan itu, agama (Islam) menjadi rujukan yang sangat penting untuk di apresiasi lebih jauh dan mendalam.

Setelah sekian lama ada keengganan menjadikan agama sebagai rujukan validitas pandangan hidup sosial politik. Oleh karena itu, dalam persoalan penting yang menjadi penekanan bukan membicarakan penyikapan agama terhadap konsep “masyarakat madani” tetapi mencoba memaparkan dasar-dasar teologis-filosofis tentang elemen utama masyrakat madani, yang ada dalam wawasan sosial Islam dan juga pengalaman praktis dalam sejarah masyrakat Muslim.

Karena itu sikap budaya (cultural attitude) dan sikap keagamaan (religions attitude) serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia (human rights) merupakan usur utama yang sangat penting untuk dibicarakan. Selain itu, aspek penting lainnya yang juga perlu dibicaralkan mengenai wawasan Islam tentang politik yang memberikan nilai-nilai dasar dalam kehidupan berdemokrasi. Semua elemen ini menjadi pilar penting tegaknya institusi sosial yang menjamin munculnya masyrakat madani.

Diakui maupun tidak konsep masyarakat madani dewasa ini adalah telah mengambil peran sebagai sebuah agenda cita-cita masyarakat yang modern Indonesia baru. Sekalipun masyarakat madani telah tiada secara fakta saat ini, akan tetapi hikmah-hikmahnya tetap masih menyinari aspek-aspek masyarakat modern. Sebagaiman contoh yang diungkapkan oleh Nurcholis Madjid, bahwa contoh yang paling mudah dideteksi adalah konsep tentang hak asasi manusia yang dari segi pelaksanaan misi suci beliau, puncak karier Nabi Muhammd Saw. ialah terselenggaranya “pidato perpisahan” yakni khutbah (al-wada). Dalam pidato itulah pertama kalinya manusia diperkenalkan dengan konsep “hak-hak asasi”, dengan inti titik tolak kesucian “hidup, harta, dan martabat kemanusian (addima’ wa al-amwal wa al-a’radh), yang apabila dibahasa Inggriskan akan terbaca: “life, property, and dignitiy atau life, fortune, and sacred honor”.

Dalam pidato itulah menurut penulis, Nabi Muhammad Saw. menegaskan tentang tugas suci beliau untuk menyeru umat manusia kepada jalan Tuhan yang Maha Esa dan menghormati apa yang menjadi hak-hak suci sesama manusia, baik laki-laki dan perempuan. Kemudian pondasi hak-hak asasi manusia ini, diperkuat oleh dekrit Tuhan, dari pembunuhan pertama sesama manusia (oleh Qabil terhadap Habil) yang dijelaskan dalam al-Qur’an, s. al-Maidah: 27-21, “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, maka karena orang itu (membunuh) orang lain, maka seakan-akan dia telah membunuh, manusia seluruhnya, dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya”.

Keagungan konsep hak-hak asasi manusia dengan martabatnya yang tinggi, konon kata Nurcholis Madjid menyebar ke Barat melalui falsafah kemanusian Giovani Pico Della MirandillaJohn Locke. Maka dari itu, jika kita menginginkan negara kita ini maju menjadi masyarakat modern, ada baiknya jika kita merenungkan lebih mendalam bagaimana keindahan dan ketajaman hikmah-hikmah pidato perpisahan Nabi Muhammad dalam membangun hak-hak manusia secara universal. dan sebagian melalui filsafat

Sehingga selajutnya ikatan batin yang mendalam pada hak-hak asasi manusia tidak akan mungkin terwujud jika tidak dipandang dan ditarik pada segmen sebagai sebuah pandangan hidup (way of life). Oleh karena itu, kesadaran tentang hak-hak asasi manusia menuntut kemampuan pribadi yang bersangkutan untuk menerima, meyakini dan menghayati, sebagai bagian dari rasa makna dan tujuan (sense of meaning and purpose) hidup pribadinya. Karena itu masalah-maslah hak-hak asasi bersangkutan dengan “perkara pungkasan” (the problem of ultimacy), yaitu perkara yang menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar: siapa manusia itu? apa makna dan tujuan kelahirannya di dunia ini? Dan bagaimana seharusnya pola-pola hubungan yang benar antara dia dan sesamanya, dia dan lingkungan yang lebih luas dan seterusnya. Jawaban atas pertanyaan-pertanyan serupa itu biasanya disediakan oleh sebuah sistem kepercayaan dan ideologi, termasuk diantaranya adalah agama-agama.

Adalah menjawab makna dan tujuan kemanusian perlu ditegaskan, bahwa rasa kemanusian haruslah berlandaskan pada rasa ke-Tuhan-an. Maka kemanusian sejati hanya dapat terwujud jika dilandasi dengan rasa ke-Tuhan-an itu. Sebab rasa kemanusian ataupun antroposentrisme yang lepas dari rasa ke-Tuhan-an atau teosentrisme akan mudah terancam untuk tergelincir kepada praktek-praktek pemutlakan sesama manusia, sebagaimana yang pernah didemonstrasikan oleh eksperimen-eksperimen Komunis (yang “ateis”). Dari sinilah kemudian hak asasi manusia sebagai elemen utama masyarakat madani, yang harus didasarkan pada nilai dasar kemanusian yang universal itu.

Bertolak dari nilai kemanusian, maka hakekatnya hak-hak asasi manusia ialah membangun kebebasan yang manusiawi. Termasuk kebebasan berpendapat. Jhon Stuart Mill seorang Filosof “kebebasan” menyatakan bahwa melahirkan pendapat dengan bebas harus dibolehkan asalkan dengan cara yang tidak keras, dan tidak melampaui batas-bats kewajaran. Kebebasan yang dimaksudkan dalam arti adalah pelepasan diri dari hegemonik kekuasan dan doktrin-doktrin manusia yang telah menjadi absolut. Seperti pengalaman hidup manusia di zaman Nabi Muhammad Saw. dimana perempuan dianggap tidak ada nilainya untuk sebuah harga diri bagi kehidupan bersuku, akibatnya setiap bayi perempuan lahir harus dikubur hidup-hidup. Dan kondisi masyarakat Arab sewaktu Islam muncul, yang sarat dengan perbudakan, memberikan suatu pemahaman bahwa secara sistematis makna bebas(hurr) yang dimaksud oleh Islam itu berlawanan dengan budak(‘abad)

Memahami hubungan penguasa dengan masyarakat(rakyat) maka harus didasarkan pada suatu ketentuan hukum. Di mana dalam prinsipnya, baik otoritas seorang penguasa maupun ketaatan secara tunduk pasif warga negara tidaklah bersifat absolut dan tak terbatas. Kedua belah pihak tunduk di bawah hukum. Dengan hukum inilah aturan-aturan sekitar hubungan antara mereka ditata dengan baik, dibatasi dan ditetapkan. Seorang penguasa Muslim bisa jadi dan biasanya seorang otokrat. Tapi ia bukanlah seorang despot. Pemerintahannya, dan masa jabatannya atas pemerintahannya tersebut, ditetapkan dan diatur oleh hukum. Dengan hukum itulah ia diikat tidak kuran dari ikatan yang mengatur rakyat jelata yang paling hina sekalipun. Artinya dalam kepemimpinan yang di contohkan dalam Islam, bahwa posisi pemerintah dengan rakyat jelata di mata hukum adalah sama.

Sehingga prinsip utama hak-hak asasi manusia dalam masyarakat madani adalah mensosialisasikan doktrin Qur’ani tentan persamaan manusia yang dituntun dalam garis keterbukaan dan hukum, yaitu “wahai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia disisi Tuhan adalah orang yang palin takwa diantara kalian”,(al-Hujarat:13). Implikasinya seluruh perintah Tuhan bila diperaktekkan dengan baik oleh manusia akan membawa kepada kebahagian hakiki. Dalam Islam ibadah kepada Tuhan merupakan tugas hidup manusia, malahan penciptaan manusia didasarkan pada suatu hikmah agar manusia melakukan ibadah kepada Tuhan dan berbuat baik.










Selasa, 23 Desember 2008

KEARIFAN TRADISIONAL DALAM PENDIDIKAN

Arhanuddin Salim




Ketika berbagai tuduhan pelanggaran HAM mulai menyentuh banyak lembaga yang akhir-akhir ini menimpa banyak perwira TNI, problem HAM di dunia pendidikan ternyata belum banyak menarik minat banyak pihak. Tidak begitu kitasadari bahwa kekerasan substansial dan pemaksaan kehendak, lebih sering dialami anak-anak di dunia pendidikan dari ruang-ruang kelas. Di ruang-ruang kelas itulah manusia anak didik sering diperlakukan tidak manusiawi dan aspirasinya kurang didengar, kecuali menuruti kehendak pendidik yang secar sepihak menyatakan diri sebagai orang yang lebih dewasa.

Sementara itu, pihak pengelola endidikan (dinas pendidikan nasional) dan para guru, menempatkan diri sebagai orang yang lebih bermoral, sumber kebaikan an , kesuksesan hidup. Paa saat yang sama, telah lama kita memperihatinkan nasib guru yang gajinya pas-pasan dan masih harus menjadi pelayan yang terpaksa setia kepaa elite penguasa, khususnya pejabat yang ada di dinas pendidikan nasional. Bisa saja kita menyatakan bahwa kekerasan dunia pendidikan itu sebgai resiko dan harga social yang harus dibayar dari kekurangpedulian kita terhadap nasib guru. Namun menurut penulis alas an ekonomi tidaklah tepat dan juga bukan sebuah kearifan jika ijadikan pemebnar bagi pelanngarab HAM dan penindasan bagi anak-anak di negeri ini.

Pendidikan seharusnya menjdi wahana manusia untuk belajar menyelesaikan problem kehidupan yang sedang dan akan dihadapi. Sayangnya, pendidikan hanya sebagai paket peniruan gaya hidup versi penguasa, birokra, pendidikan dan para “orang dewasa”. Karenalah itulah pendidikan sering terperangkap sebagai peraktek ke-kuno-an dari gaya hidup generasi terdahulu yang ketinggalan zaman. Bahkan pendidikn juga mudah terperangkap sebagai praktek sebuah system penindasan dan ketidak adilan.

Tanpa reformasi pendidikan sebagai sebuah proses induksi dan dialog budaya antar generasi, pendidikan akan mudah menjadi praktek pemasungan an peninasan kreatifitas serta perlakuan kekerasan sistematis yang terlembaga. HAM yang lebih benilai tradisional itu diroda-paksakan menjadi hak hukum, hak politik dan hak-hak lain menurut versi impersonal sebagai indikasi modernitas. Seharusnya disadari bahwa HAM, selain bersifat universal sekaligus juga harus bersifat unik sesuai hakekat jati diri manusia yang unik dan misteriuas.

Tanpa kesadaran HAM dalam arti tradisonal, tujuan berperestasi dalam dunia pendidikan dipicu dengan mengabaikan hak-hak paling asasi setiap orang. Prestasi anak dalam dunia pendidikan selama ini lebih berarti sebagai prestasi lembaga sekolah yang menumbuhkan kebanngaan berlebihan pada lembaga. Muncul sentiment lembaga dari ruang-ruang kelas bahwa sekolahnyalah yang paling jawara dalam banyak bidang. Inilah yang sebenarnya menjadi akar bentrokan antar sekolah selama ini. Dan itupulah yang menjadi akr dari segala kerusuhan anatr kelompok di dalam masyrakat kta selama ini.

Dalam skal yang lebih luas hal itu berkaitan dengan kekerasan social yang terus berlangsung dan julai menyentuh wilayah teologis da SARA. Pendidikan berubah menjadi industri tenaga kerja dan proyek elite politik penguasa. Pembangunan menjadi cara peniadan keunikan manusia sehingga yang semakin impersonal (baca; tidak peduli penderitaan dan kegagalan orang lai) dianggap semaki n efisien dan produktif. Manusia diletakkan dalam struktur banyak lembaga itu, dari mana ia dinilai, dihargai atau dibuang, dihormati atau ditindas. Atas nama lembaga, seorang boleh bertindak di luar bats tradisional kemanusian, merampas memnjarakan, bahkan membunuh. Berpartai atau berengara, berkeporasi, bermasjid atau bergereja dan berpure hingga bersekolah, menjadi sebuah ritus yang membuat manusia menjadi Tuhan-Tuhan yang boleh berbuat apa saja.

Cita manusia diubah menjadi citra sekolah, partai birokarssi, perusahaan, toko atau sopir, pegawai atau majikan, buruh atau manager dan lembaga keagamaan. Nilai-nilai etik, spritual dan gaib kemudian berubah terperangkap menjadi tanda-tanda lahiriyah yang keras dan habis dibagi. Hanya ada satu sekolah yang berperestasi, satu partai yang menang, dan hanya satu agama yang benar. Seluruh realitas lain, dipandang kesalahan, keburukan, dan ketertindasan. Seorang bisa disebut paling kaya jika yang lain melarat, bisa menjadi paling pandai kalau yang lain bodoh.

Kerasan dan penindasan ternyata tidak hanya di medan tempur, tetapi dihadapi manusia tiap hari di jalan., di pasar, di sekolah dan di mana saja manusia bertemu dengan sesamnya. Untuk bebas dan keluar dari kemeluk perangkat kemanusia itu serta jejaring ideologisasi perang kemanusia tersebut, perlu dikembangkan kesadaran dan kearifan tradisional yang bebas dan mengatsi jerat pelembagaan moernitas. Kesadaran dan kearifan tardisonal yang intuitif lebih memberi peluang yang promosi HAM dan tumbuhnya keunikan budaya yang lebih manusiawai. Pendidikan yang seharusnya menjadi ajang pencarian kebenaran dan pemberian fasilitas bagi tumbuhnya kemanusian itu kemudian berubah menajadi ajang pergumulan elite penguasa an politisi. Tanpa penyadan intusi kemanusian itu, pendidikan bisa berubah menjadi praktek sistematis dehumanisasi.







ArtIKEL KU

KRITIK TERHADAP TEORI SOSIAL

Oleh: Arhanuddin SalimÖ

    PROLOG

Peter Beilharz mengatakan mengapa kita peduli pada Teori Sosial?1 Pertanyaan ini hanya sekedar ingin menggelitik pikiran kita, bahwa sesungguhnya realitas sosial yang ada hari ini adalah ampas-ampas dari pengujian teori-teori sosial, yang tidak pernah berhasil mengoptimalkan kondisi realitas sosial yang dicita-citakan. Lanjut Beilharz, bahwa kebudayaan kita adalah suatu kebudayaan instrumental, dikuasai oleh rejim utilitarian yang lebih suka mencapai hasil lewat jalan pintas. Tak ada waktu untuk berpikir.2 Pengetahuan kita tentang realitas sosial hanya sekedar biasa-biasa saja, biasa dalam term yang terlalu picik, dalam hal ini kita mengikuti dan melakoni ritme kehidupan sosial tanpa pernah mau merenung apa makna dibalik realitas tersebut. Sebagai Contoh, ketika realitas sosial begitu sulit, tingkat pendapatan per-kapita masyarakat semakin rendah, BBM naik-turun, krisis finansial global, bahkan perkelahian mahasiswa dengan polisi di depan kampus, sampai perkelahian liar yang penuh birahi antara seorang mahasiswa dan mahasiwi di pojok-pojok kampus, kesemuanya ini hanya kita anggap hal yang lumrah, dan bahkan ada diantara kita hanya sekeder menimpali, “ah, itukan urusan orang masing-masing”. Kesemuanya ini menurut Mansour Fakih adalah hasil dari sikap Vassifitas masyarakat terhadap realitas sosial dilingkungannya.3

Apa yang kita alami dalam kehidupan sosial kita, dengan berbagai contoh diatas sesungguhnya menampakkan kepada kita semua, bahwa kita tidak pernah ingin peduli dengan apa yang terjadi. Kepedulian terhadap sosial yang mulai hilang mengindikasikan adanya sebuah problem yang amat besar dalam masyrakat kita. Oleh karena itu disinilah pentingnya kembali mengkaji aspek-aspek yang membangun realitas sosial tersebut dalam hal ini, cara pandang kita terhadap sebuah konsepsi yang selanjutnya akan kita istilahkan dengan sebutan “TEORI”, maksudnya adalah sebuah bangunan teori yang mendasari seluruh realitas sosial yang terbangun hari ini.

Terkadang kata “teori” memang menakutkan. Beberapa teori sosial seringkali sulit dipahami, dangkal, atau bahkan tak memiliki tujuan yang jelas. Terkadang pembaca teori-teori sosial tak mengerti apa sebenarnya yang mereka baca. Namun bagaimanapun teori sangat berguna dalam memahami sistem yang hendak didekati. Teori sosial sepantasnya berguna untuk mendekati sistem sosial. Konstruksi teori adalah sebuah tahapan dari seluruh pekerjaan dan metodologi ilmiah. Teori lahir dari serangkaian perjuangan yang menggunakan akal sehat, hipotesis, dan eksperimen yang dapat digunakan di luar laboratorium dan sekadar impian para ilmuwan. Teori sosial adalah teori yang tak menggunakan “kelinci” sebagai obyek percobaan, tak pula memiliki larutan kimia atau proposisi logika yang hendak dipermainkan sedemikian oleh para ilmuwan sebagaimana para fisikawan, kimiawan, atau matematikawan. Teori sosial berada di area gejala yang terlihat di siang hari selama riset dan malam hari menjadi bahan perenungan para ilmuwan sosial.

Olehnya itu sangat penting kiranya untuk kembali melakukan telaah secara kritis terhadap perkembangan teori sosial yang ada, dalam makalah ini akan dijelaskan lebih jauh atau paling tidak penulis akan mengelaborasi lewat metodologi “studi kritis” seputar teori-teori sosial yang ada. Metodologi Studi kritis dipakai oleh karena diharapkan nantinya akan kita temukan kelamahan dan keunggulan setiap teori sosial yang berkembang saat ini. Antara lain yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini adalah, teori fungsionalisme struktur Talcot Parsons, teori konflik Ralf Dahrendof dan Marxsisme, serta teori-teori sosial kontemporer mutakhir.

  1. URAIAN

Untuk memudahkan kita melakukan elaborasi kritis terhadap teori sosial yang ada maka dibutuahkan sebuah prangkat teoritis dalam mengkaji selanjutnya. Prangkat teoritis atau lebih populer dikenal sebagai alas pikir(frame Reference) akan memetakan objek kajian yang ingin kita kaji. Dalam kajian teori sosial, George Ritzer memperkenalkan kita dengan sebuah pisau analisa dalam membedah sebuah teori. Pisau analisa itu biasa disebut dengan sosiologi berpardigma ganda (Sociology: A Multiple Paradigm Science),4 secara sederhana Ritzer mensinyalir bahwa setiap teori sosial yang ada membupunyai paradigma5 yang membangunnya.

Dalam buku itu, Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi. Tapi, dari ketiga paradigma itu Ritzer menjelaskan, seperti dikutip Mansour Fakih, bahwa kemenangan satu paradigma atas paradigma lain lebih disebabkan karena para pendukung dari paradigma yang menang itu lebih mengandalkan kekuatan dan penguasaan dari atas pengikut paradigma yang dikalahkan, bukan karena persoalan benar atau salah dalam struktur dan makna teori itu.6 Sehingga, pada ketiga paradigma itu terdapat kekurangan dan kelemahannya masing-masing.

Paradigma pertama adalah Fakta Sosial.7 Menurut paradigma ini, “Fakta sosial” menjadi pusat perhatian penyelidikan dalam sosiologi. Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial itu dianggap sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Fakta sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social instistution).8 Paradigma kedua adalah Definisi Sosial,9 dan Paradigma yang terakhir adalah Perilaku Sosial.10 Penjelasan tentang paradigma di atas membawa kita kepada pengetahuan bahwa teori sosial berdiri dan tegak dengan paradigma yang dianutnya.

Selanjutnya kita akan mencoba melakukan analisa kritis terhadap teori sosial yang ada dalam wilayah paradigamanya masing-masing.

  1. Kritik terhadap Fungsionalisme Struktur

Fungsionalisme Talcott Parsons, sesungguhnya amat laris di dunia ketiga, termasuk di Indonesia. Parsons memulai teorinya dari apa yang disebut dengan masalah “Hobbesian” tentang tatanan (Problem of order). Pandangan hobbesian menyatakan bahwa kondisi asali kita adalah konflik yang tak berkesudahan antar individu. Fakta bahwa saat ini ada tatanan masyarakat itu hanya karena ada lompatan. Proses lompatan inilah yang mengakibatkan dua masalah, dan masalah itu adalah masalah hobbesian. Pertama, bagaimana tatanan masyarakat dimungkinkan dibagung? Kedua, bagaimana poses perdamaian konflik berbagai kempentingan itu berlangsung? Jhon Locke melalui gagasan “kontrak sosial” menjawab masalah yang pertama, sementara Parsons menganggap masalah “hobbesian” sebagai masalah “perdamaian dan berbagai kepentingan”. Kunci perdamaian ini menurut Parsons adalah dengan adanya nilai (value) yang mengikat kebutuhan dan tindakan individu dengan tata masyarakat.11 Dalam tindakan apaun kita anggota masyarakat merupakan pelaksana peran-perang sosial tertentu, entah peran itu disebut buruh, dosen, manager, maupun mahasiswa. Dalam menciptakan peran tersebut masyarakat harus mempunyai prasyarat fungsional, ada 4 prasayarat fungsional yaitu tujuan(goal) yang diperankan oleh lembaga politik, adaptasi(adaptasion) yang diperankan oleh lembaga ekonomi, integrasi(integration) yang diperankan oleh lembaga hukum dan yang terakhir prasyarat perekat (latency) yang diperankan oleh institusi keluarga dan agama. Ketundukan kita terhadap peran sosial dijaga lewat sangsi positif (hadiah) dan negatif (hukuman). Peran dan sangsi sosial terlembagakan dalam sistem nilai dan norma.12

Apa pokok fungsionalisme yang tidak bisa diterima? Sekurangnya menurut Anthony Giddens ada tiga hal. Pertama, fungsionalisme memberangus fakta bahwa kita anggota masyarakat bukan orang-orang dungu. Kita tahu apa yang terjadi disekitar kita, dan bukan robot yang bertindak berdasar “naskah” (peran) yang sudah ditentukan. Kedua, fungsionalisme merupakan cara berpikir yang mengklaim bahwa sistem sosial punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Bagi Giddens sistem sosial tidak punya kebutuhan apapun, yang punya kebutuhan adalah kita para pelaku. Ketiga, fungsionalisme membuang dimensi waktu (time) dan ruang (space) dalam menjelaskan gejala sosial. Akibatnya terjadi pertentangan antara “statis” dan “dinamis” atau “stabilitas” dan “perubahan”, yang merupakan bentuk dualisme lain.13

Salah satu kelemahan yang paling mencolok dari fungsionalime ini adalah tentang dimensi waktu dan ruang tersebut, yang menyebabkan teori fungsionalisme struktur lebih mengedepankan pada kondisi statis untuk mempertahankan kondisi sosial agar terus stabil, dengan demikian perubahan dalam masyarakat cenderung lambat dan bahkan tak ada transformasi sekalipun, yang ada adalah mempertahankan kestabilan masyarakat lewat fungsi-fungsi yang diperankan. Hasilanya sangat “konservatif” dan mempertahankan “status quo”.

  1. Kritik Terhadap Teori Konflik

Seorang direktur jatuh cinta pada seorang karyawatinya yang juga sedang memadu cinta dengan karyawan lain. Karyawan ini ternyata memang sudah dimak-comblangi oleh teman-temannya yang lain. Mereka tak tahu sebelumnya bahwa sang direktur menyimpan hati atas karyawati tersebut, karena kebetulan hanya karyawan dan karyawati tersebut yang belum menikah di sana. Apa yang terjadi? Konflik dalam perusahaan. Konflik yang akan berakhir dengan perubahan tatanan sosial dalam perusahaan tersebut. Sang direktur akan menjadi tak lagi fokus pada pekerjaannya, ia berusaha mencari waktu untuk memberi tugas pada karyawatinya. Pun hal ini juga dilakukan oleh karyawan yang sedang mabuk kepayang. Karyawati tersebut menjadi bingung. Struktur sosial perusahaan bisa berubah dengan sangat cepat. Jika anda seorang konsultan tenaga kerja dan dimintai nasehat untuk mengatasi masalah ini, apa yang akan anda lakukan? Dinamika sebuah sistem sosial terjadi atas peta konflik yang terjadi dalam sistem tersebut. Secara sederhana, cerita diatas menggambarkan kepada kita tentang dasar dan cara pandang teori konflik yang akhirnya berbicara tentang banyak hal soal struktur sosial dan perubahannya. Selain kemunculan teoretisi neo-marxis, pergulatan antar kelas ekonomi menjadi inspirasi pula bagi lahirnya teori konflik. Sosiolog Jerman, Ralf Dahrendorf, menerangkan konflik kelas dalam masyarakat industrial pada tahun 1959.14

Teori sosial Dahrendorf berfokus pada kelompok kepentingan konflik yang berkenaan dengan kepemimpinan, ideologi, dan komunikasi di samping tentu saja berusaha melakukan berbagai usaha untuk menstrukturkan konflik itu sendiri, mulai dari proses terjadinya hingga intensitasnya dan kaitannya dengan kekerasan. Jadi bedanya dengan fungsionalisme jelas, bahwa ia tidak memandang masyarakat sebagai sebuah hal yang tetap/statis, namun senantiasa berubah oleh terjadinya konflik dalam masyarakat. Dalam menelaah konflik antara kelas bawah dan kelas atas misalnya, Dahrendorf menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan ditentukan oleh sifat struktur otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi yang terlibat di dalamnya. Individu tidak harus sadar akan kelasnya untuk kemudian menantang kelas sosial lainnya.15

Teori konflik telah dikritik dengan berbagai alasan. Misalnya teori ini diserang karena mengabaikan “ketertiban” dan “stabilitas”, sedangkan fungsionlisme struktural diserang karena mengabaikan “konflik” dan “perubahan”. Teori konflik juga dikritik karena berideologi “radikal”, sedangkan fungsionalisme dikritik karena ideologi konservatifnya. Bila dibandingkan dengan funsionalisme struktural, teori konflik tergolong perkembanganya. Teori ini hampir tak secanggih fungsionalisme, mungkin karena merupakan teori turunan.16

  1. Kritik Terhadap Teori Marxsisme

Telah secara umum diterima bahwa Marxisme mengambil bentuknya dari tiga akar pokok. Salah satu dari akar itu ialah analisis Karl Marx tentang politik Prancis, khususnya revolusi borjuis di Prancis tahun 1790an, dan perjuangan-perjuangan kelas berikutnya selama awal abad ke-19. Akar lain dari Marxisme adalah apa yang disebut ekonomi Inggris, yaitu analisis Marx tentang sistem kapitalis seperti yang berkembang di Inggris. Akar ketiga dari Marxisme, yang menurut sejarahnya merupakan titik permulaan Marxisme, adalah 'filsafat Jerman', Untuk memulainya, kita katakan bahwa basis Marxisme adalah materialisme. Maksudnya, Marxisme dimulai dengan ide bahwa materi adalah esensi dari semua realitas, dan bahwa materi membentuk akal, dan bukan sebaliknya.17

Oleh karena itu dengan prinsip matrealisme tersebut, dari sejumlah tempat dalam karyanya Marx berbicara seolah-olah seperti seorang “determinis ekonomi”; yakni, ia mengangap sistem ekonomilah yang terpenting dan menegaskan sistem ekonomi menentukan semua sektor masyarakat lainnya. Meski Marx melihat sektor ekonomi sangat menentukan setidaknya dalam masyarakat “kapitalis”, namun selaku orang yang berfilsafat dialektis ia tak akan berpendirian ditermistis karena dialektika ditandai oleh pemikiran, mengenai adanya umpan balik dari interaksi timbal balik secara terus menerus antara berbagai sektor masyarakat. Sektor politik, agama, dan sebagainya tak dapat dikurangi menjadi “epipenomena” yang ditentukan oleh ekonemi, alsannya politik, agama dan sebaginya dipengaruhi oleh sektor ekonomi, meskipun Marx berpikir dialektis namun ia masih saja diinterpretasikan sebagai seorang “determis ekonomi”.18

Selanjutnya kritik terhadap Marxsisme lebih lanjut dapat dilihat dari persfektif Neo Marxsisme, persfektif ini mencoba mengkaji dan menafsir ulang konsep marxsisme yang menurut mereka sudah “ketinggalan jaman”. Puncak dari Neo Marxsisme ini adalah lahirnya teori kritis (Critical Theory) yang dimotori oleh Jurgen Habermas19 yang tergabung dalam sebuah Mashab, yang terkenal dengan Mazhab Frankfurt.

  1. KHATIMAH

Dari ketiga teori yang diurai di atas sesungguhnya telah banyak dikritik oleh teorisasi sosial kontemporer saat ini, termasuk didalamnya dari teori kritis mazhab Fraknkfurt Jurgen Habermas, yang paling memperihatinkan adalah kritikan dari teoritikus “posmodernisme”,20 yang dalam grand teori sosial masa kini, biasa diidentikkan dengan kaum “postrukturalis”, kaum ini tidak hanya menghabisi dan menguliti ketiga teori diatas, namun lebih jauh mereka menganggap bahwa landasan pengetahuan yang membangun teori sosial telah mati dalam hal ini, kaum Posmo mengklaim “Sosiologi” telah bubar alias mampus. Mereka mengangap teori sosial diselubungi oleh “kepentinggan ideologis” yang amat mengerikan, yang implikasinya dapat secara nyata dilihat dalam realitas masyrakat modern kontemporer. Terjadinya kekacauan dalam masyarakat modern menurutnya adalah tanda kegagalan teori sosial.


Makalah disampaikan pada “Kajian Sosial” HMJ Pendidikan Sosiologi Unismuh Makassar, tanggal 21 Desember 2008.

ÖÖ Aktivis Reso Institute Makassar (LSM Transformasi Sosial & Aksi), dan Mahasiswa Semester Akhir Program Pasca Sarjana UIN Alauddin Makassar.

1 Lhat Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial; Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, (Jakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II; 2003), hal. vii

2 Ibid.,

3 Lihat Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Insist Press, Edisi Revisi 2002), hal. 20

4 George Ritzer, Sosiologi, Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, terj. Alimandan, (Jakarta: Jakarta, 1985), hal. 15

5 Secara sederhana paradigma kita artikan sebagai kacamata atau sudut pandang dalam melihat obyek sesuatu yang diamati. Istilah “paradigma” (paradigm) pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya berjudul The Structure of Scientific Revolution (Chicago: University of Chicago Press, 1970). Menurutnya, paradigma adalah satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Dalam buku itu Kuhn mejelaskan tentang perubahan paradigma dalam ilmu, dan menurutnya disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma. Bisa jadi, suatu pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru yang mengikutinya.

6 Lihat Mansour Fakih, op. cit., h. 23


7 Paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim, seorang sosiolog “integrasi sosial” asal Perancis, melalui dua karyanya, The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Durkheim mempertegas bahwa pendekatan sosiologinya berseberangan dengan Herbert Spencer, yang menekankan pada “individualisme”. Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan baginya, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal. Ada kemiripan pandangan Spencer dengan August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial. Keduanya sama-sama ingin menerapkan teori evolusionisme pada alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Spencer lebih memperhatikan terhadap perubahan struktur sosial dalam masyarakat, dan tidak pada perkembangan intelektual Lihat, Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi, Klasik dan Modern, terj. Robert M. Z. Lawang, (Jakarta: Gramedia, 1986), Jilid 1, hal. 171-2.


8 Menurut Ritzer, teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah : Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro. Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton, yang menjadikan obyek analisa sosiologisnya adalah peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial, dan sebagainya. Penganut teori ini cenderung melihat pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem lain, dan secara ekstrim beranggapan bahwa semua peristiwa atau struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Sedangkan Teori Konflik, yang tokoh utamanya adalah Ralp Dahrendorf, sebagai kebalikan dari teori pertama, menitikberatkan pada konsep tentang kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem sosial sehingga bisa menimbulkan konflik. Dan tugas utama dalam menganalisa konflik adalah dengan mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.Lihat George Ritzer, op. cit., hal. 16-26

9 yang dikembangkan oleh Max Weber untuk menganalisa tindakan sosial (social action). Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen. Paradigma ini dimasuki oleh tiga teori, yaitu Teori Aksi (dari Weber sendiri), Teori Fenomenologis yang dikembangkan oleh Alfred Schutz, dan Teori Interaksionalisme Simbolis yang tokoh populernya adalah G. H. Mead

10 Paradigma ini dikembangkan oleh B. F. Skiner dengan meminjam pendekatan behaviorisme dari ilmu psikologi. Ia sangat kecewa dengan dua paradigma sebelumnya karena dinilai tidak ilmiah, dan dianggap bernuansa mistis. Menurutnya, obyek studi yang konkret-realistik itu adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya (behavioral of man and contingencies of reinforcement). Skinner juga berusaha menghilangkan konsep volunterisme Parson dari dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi. Yang tergabung dalam paradigma ini adalah Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange.

11 Herry Priyono, Anthony Giddens; Suatu Pengantar, (Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia; Cet. I, 2002), hal. 8

12 Ibid., hal. 9

13 Ibid., hal. 10

14 Teori ini sangat berbeda dari teori Marx karena ia menganalisis konflik tanpa memperhitungkan politik ekonomi yang ada (apakah kapitalisme atau sosialisme). Jika Marx bersandar pada PEMILIKAN alat produksi, maka Dahrendorf bersandar pada KONTROL atas alat produksi. Dalam terminologi Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilikan akan alat produksi (baik sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontrol atas alat produksi. Jadi, di luar Marxisme, ia mengembangkan beberapa terminologi dari Max Weber, antara lain bahwa sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif melalui otoritas/kekuasaan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori Dahrendorf melakukan kombinasi antara fungsionalisme (tentang struktur dan fungsi masyarakat) dengan teori (konflik) antar kelas sosial.

15 Lihat George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Kencana, Cet. IV; 2007), hal. 153

16 Ibid., 154

17 John Pickard, Materalisme Dialektis, diterjemahkan sesuai teks dalam website In Defence of Marxism (http://www.marxist.com), up load., 19 Desember 2007;11:00 AM

18 Lihat George Ritzer & Douglas J. Goodman, op. cit., hal. 169

19 Pada awal 1960-an Jurgen Habermas sangat populer dikalangan mahasiswa jerman dan oleh beberapa kelompok dianggap sebagai ideolog mereka, khususnya Soziliatischer Deutsche Studentenbund (Kelompok Mahasiswa Sosialis Jerman., Baca Ibrahim Ali Fausi, Seri Tokoh Fiilsafat; Jurgen Habermas, (Jakarta: Teraju, Cet. I; 2003), hal. 21

20 Teori sosial “Posmodern” mengacu pada cara berpikir yang berbeda dengan teori sosial modern, lihat George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, op. cit., hal. 629


ArtiKelku

Pendidikan Islam di Tengah Kemelut

Wacana “Posmodernisme”

Arhanuddin Salim





Wacana pendidikan Islam semakin mendapatkan aura eksistensinya ketika akhir-akhir ini gembong pembaharuan Islam yang ada di perguruan tinggi Islam dalam hal ini IAIN, sebagai representasi terhadap wajah baru dalam memahami ajaran Islam yang lebih professional dan jauh dari kekumuhan. Tak pelak lagi akhir-akhir ini rekonstruksi pengembangan IAIN menuju ke UIN adalah sebuah langkah baru dan maju yang dicetuskan oleh cendikiawan-cendikiawan muslim di tanah air untuk memajukan pendidikan Islam, untuk bisa bersaing dengan pendidikan non Islam atau dengan kata lain mencoba keluar dari kemelut dikotomisasi(pemisahan) antara ilmu agama yang banyak diproduksi oleh lembaga pendidikan agama(IAIN dkk) serta ilmu umum yang didominasi oleh lembaga pendidikan umum(universitas).

Perubahan IAIN ke UIN sebenarnya adalah hasil produksi wacana di tahun 70-an yang banyak dimotori oleh Ismail Radji al-Faruqi dengan grand tema diskursus “Islamisai ilmu pengetahuan” dan sampai saat ini auranya masih sangat terasa di tengah-tengah intelektual muslim di Indonesia.

Tulisan ini bukannya ingin mengulas lebih jauh tentang islamisasi ilmu pengetahuan, di samping karena kurangnya waktu dan ruangnya terbatas, namun tulisan ini akan lebih jauh mengulas seperti apa wajah pendidikan Islam ketika dihadapkan pada diskursus wacana mutakhir yang sangat trend saat ini yakni wacana posmodernisme atau lebih keren dikenal dengan “posmo”. Meskipun sebenarnya wacana posmo ini di Barat(eropa) sudah mulai muncul sekitar tahun 60-an, namun kajian dan auranya di Indonesia masih sangat muda dan sangat terbatas.


Posmodernisme: Sebuah tanda Tanya?

Menurut Komaruddin Hidayat dalam artikelnya “Melampai Nama-Nama Islam dan Posmodernisme” beliau mengatakan, bahwa terdapat perbedaan aksentuasi makna dan semangat ketika Postmodernisme dipahami sebagai periode kesejarahan dan mode pemikiran, meskipun keduanya memiliki keterkaitan yang amat erat: yang pertama mengajak kita untuk memusatkan pada kajian sosiologis terhadap kehidupan masyarakat postmodern, sedang yang kedua pada analisa konseptual-filosofis. Lanjut Komaruddin Hidayat bahwa ketika postmodernisme dikaitkan dengan Islam, kita juga bisa meniliknya dari dua arah tersebut. Tapi di sini kita sulit mencari sosok pemikir yang secara spesifik dan intens terlibat dalam wacana postmodernisme sebagai sebuah agenda filosofis-intelektual. Barangkali hanya dua nama yang mudah disebutkan, yakni Mohamed Arkoun dan Hassan Hanafi. Yang pertama seorang intelektual muslim kelahiran Aljazair yang tinggal di Perancis, dan yang kedua berasal dari Mesir yang juga banyak mengenyam pendidikan di Perancis. Keduanya memiliki keterlibatan intelektual secara langsung dengan isu dan gerakan postmodernisme di Eropa. Dari keduanya itu kelihatannya Arkoun lebih terlibat jauh.

Berbagai karyanya, yang sebagian besar masih dalam edisi Perancis, memang secara eksplisit memperkenalkan konsep "dekonstruksi" dari Derrida dalam memahami Al-Qur'an, meskipun dalam segi yang amat fundamental Arkoun berbeda dari Derrida dan pemikir postmodernis yang lain.

Mencermati analisa Komaruddin Hidayat di atas, dapat diyakini bahwa ternyata wacana posmodernisme dalam Islam masih sangat terbatas serta kurang mendapatkan perhatian dan hanya pada segelintir intelektual muslim yang menggarapnya sebagi mode pemikiran yang khas dalam diskursus ke-Islam-an. Pernyataan ini bukan berarti bahwa mengkaji posmodernisme atau Posmo dalam diskursus ke-Islam-an tidak dimungkinkan namun boleh jadi diskursus posmo belumlah terlalu menarik bagi pemikir-pemikir muslim saat ini, apalagi yang mempunyai mode pemikiran yang cenderun tradisonal. Yang dapat kita lihat saat ini misalnya yang cukup serius melihat perkembangan posmodernisme dalam Islam adalah Akbar S Ahmed dengan karyanya Postmodernism and Islam(1992) dan Ernest Gellner, Postmodernisme, Reason and Religion(1992). Meskipun keduanya menurut Komaruddin Hidayat secara eksplisit menyebutkan postmodernism dalam judul bukunya, tetapi sayang analisanya kurang masuk dan menusuk lebih dalam memasuki agenda diskusi yang dilakukan oleh kaum poststrukturalis. Namun begitu kedua buah buku ini setidaknya memberikan pengantar bagi kita untuk memasuki arena diskusi mengenai kaitan Islam dengan persoalan modernitas dan postmodernitas.

Menurut Akbar S ahmed dalam bukunya posmodernisme and Islam(1992) yang terlebih dahulu melakukuan analisa sosiologis atas posmodernisme, sebagaimana yang dikutip oleh Komaruddin Hidayat bahwa setidaknya ada delapan ciri utama posmodernisme yakni; Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden(meta-narasi); dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran. Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media masa telah menjelma bagaikan "agama" atau "tuhan" sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi. Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan. Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisisme dengan masa lalu. Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat roda, negara maju sebagai "titik pusat" yang menentukan gerak pada "lingkaran pinggir".

Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi. Tujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif. Dan Delapan, bahasa yang digunakan dalam wacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut "era postmodernisme" banyak mengandung paradoks.

Dengan melihat ciri-ciri utama dari posmodernisme di atas yang diungakapkan oleh Akbar S Ahmed, dapat dimengerti bahwa kondisi posmodernisme sesungguhnya mengantarkan kita pada sebuah kondisi yang sangat berbeda dengan kondisi sebelumnya yakni kondisi modern. Sementara itu menurut Julia I. Suryakusuma mengatakan bahwa, secara historis kelahiran postmodernisme dapat dilacak jauh ke alur sejarah kegagalan modernisme. Benih-benih kekecewaan terhadap modernisme pertama kali muncul pada tahun 1950-an dalam dunia sastra, ketika Charles Olson, seorang penyair Amerika, menggunakannya untuk menyebut gerakan anti-modernisme dan anti-rasionalitas modern dalam dunia puisi kontemporer Amerika(Bertens, 1995:20). Gerakan anti-modernisme, yang dipelopori oleh John Cage, Robert Rauschenberg, Merce Cunningham, ini adalah gerakan yang mencoba membangun kesadaran untuk keluar dari kungkungan dan kuasa rasionalitas seni modern. Para seniman dan penyair saat itu mulai merasa jenuh berada dalam ketertutupan dan kekakuan rasionalitas instrumental dunia modern. Dalam tulisannya Human Universe (1951), Olson menyatakan bahwa dunia kebudayaan Barat, karena orientasi ontologisnya yang “membabi-buta” terhadap rasionalitas modern, telah menyebabkan hilangnya otentisitas kehidupan dan kesejatian pengalaman manusia. Sebagai akibatnya manusia tidak lagi mampu mengalami dan menghayati kekayaan realitas kehidupan dengan segenap keunikannya masing-masing(Bertens, 1995: 21).

Hal yang ada hanyalah sebuah realitas tunggal yang monolitik, dogmatis dan ideologis. Sebaliknya, gerakan anti-modernisme menyatakan sikap penolakan terhadap pandangan rasionalitas modern yang menjunjung tinggi universalitas, subjek transenden, ego individual, dan merayakan otentisitas kehidupan. Gerakan anti-modernisme hendak mencoba melawan keangkuhan nilai dan estetika sastra modern. Perbincangan mengenai postmodernisme selanjutnya berkembang dalam lapangan seni. Pada kurun waktu tahun 1960-an, muncul tulisan-tulisan tentang postmodernisme dengan artikulasi dan pemihakan yang lebih jelas. Dalam dunia sastra, Ihab Hassan dan Susan Sontag menyatakan mulai bangkitnya dunia sastra yang terdiam. Sontag juga menyatakan telah lahirnya sensibilitas baru, yaitu suatu sikap yang lebih terbuka menerima keragaman gaya dan bentuk, serta tidak lagi menuntut penghormatan terhadap seniman dan karya seni.

Dari pemaparan di atas nampaknya pendidikan Islam mesti melakukan pembenahan secara dini sebab dengan melihat perkembagan posmodernisme yang semakin pesat memasuki disiplin dan bidang keilmuan yang ada, maka seharusnya pendidikan Islam tidaklah menjadi penonton yang cemburu dan malu-malu, artinya bahwa ketika pendidikan Islam ingin maju, maka sedari awal mesti membuka diri untuk merambah disiplin wacana dan diskursus yang nota bene bisa membuka cara pandang baru dalam melihat realitas sebagai sebuah mode of tough dalam menganalisa realitas ke-Islam-an kita saat ini.

Bagi penulis sekaranlah saatnya pendidikan Islam mesti secara jujur membuka krang ke-eksklusifan-an yang terpenjara akibat kolonialisasi-pengetahuan dari Barat(eropa) yang menyebabkan keterpenjaraan metodik selama ini. Begitupun dengan menyikapi posmodernisme saat ini pendidikan Islam seharusnya menjadikan posmodersme sebagai objek kajian yang netral dari dimensi kuasa yang bermain di dalamnya, sebab bagaimanapun juga posmodernisme adalah produk Barat(eropa) yang tidak pernah lepas dan netral dari wilayah “kuasa” dan kepentigan terutama, kepentingan politik-ekonomi dan lain sebagainya.

Demikianlah ketika pendidikan Islam ingin menyikapi dan merespon atas wacana dan diskursus posmodernisme, maka sesungguhnya tak pernah lepas dari dimensi dan dasar bagunana pendidikan Islam tersebut yakni ajaran Islam, mesti ada rekonstruksi ulang terhadap tafsiran ke-Islam-an kita selama ini sehingga kita mudah mendekati atau memahami dimensi posmodernisme tersebut sebagai babak baru dalam menciptakan dimensi pendidikan Islam yang mampu menyapa dan mencandra realitas secara bijak dan arif, semoga. Wallahu, a’alam